Kelainan his dapat berupa inersia
uteri hipotonik atau inersia uteri hipertonik.
a. Inersia
uteri hipotonik
Adalah kelainan his dengan kekuatan
yang lemah / tidak adekuat untuk melakukan pembukaan serviks atau mendorong
anak keluar. Di sini kekuatan his lemah dan frekuensinya jarang. Sering
dijumpai pada penderita dengan keadaan umum kurang baik seperti anemia, uterus
yang terlalu teregang misalnya akibat hidramnion atau kehamilan kembar atau
makrosomia, grandemultipara atau primipara, serta pada penderita dengan keadaan
emosi kurang baik. Dapat terjadi pada kala pembukaan serviks, fase laten atau
fase aktif, maupun pada kala pengeluaran. Inertia uteri hipotonik terbagi dua,
yaitu :
1) Inersia uteri primer
Terjadi pada permulaan fase laten.
Sejak awal telah terjadi his yang tidak adekuat ( kelemahan his yang timbul
sejak dari permulaan persalinan ), sehingga sering sulit untuk memastikan
apakah penderita telah memasuki keadaan inpartu atau belum.
2) Inersia uteri sekunder
Terjadi pada fase aktif kala I atau
kala II. Permulaan his baik, kemudian pada keadaan selanjutnya terdapat
gangguan / kelainan.
Penanganan
:
1.
Keadaan umum penderita harus diperbaiki. Gizi selama
kehamilan harus diperhatikan.
2.
Penderita dipersiapkan menghadapi persalinan, dan
dijelaskan tentang
kemungkinan-kemungkinan yang ada.
kemungkinan-kemungkinan yang ada.
3.
Teliti keadaan serviks, presentasi dan posisi,
penurunan kepala / bokong bila sudah masuk PAP pasien disuruh jalan, bila his
timbul adekuat dapat dilakukan persalinan spontan, tetapi bila tidak berhasil
maka akan dilakukan sectio cesaria.
b. Inersia
uteri hipertonik
Adalah kelainan his dengan kekuatan cukup besar (kadang sampai melebihi
normal) namun tidak ada koordinasi kontraksi dari bagian atas, tengah dan bawah
uterus, sehingga tidak efisien untuk membuka serviks dan mendorong bayi keluar.
Disebut juga sebagai incoordinate uterine action. Contoh misalnya “tetania
uteri” karena obat uterotonika yang berlebihan. Pasien merasa kesakitan karena
his yang kuat dan berlangsung hampir terus-menerus. Pada janin dapat terjadi
hipoksia janin karena gangguan sirkulasi uteroplasenter. Faktor yang dapat
menyebabkan kelainan ini antara lain adalah rangsangan pada uterus, misalnya
pemberian oksitosin yang berlebihan, ketuban pecah lama dengan disertai infeksi,
dan sebagainya.
Penanganan:
Dilakukan pengobatan simtomatis
untuk mengurangi tonus otot, nyeri, mengurangi ketakutan. Denyut jantung janin
harus terus dievaluasi. Bila dengan cara tersebut tidak berhasil, persalinan
harus diakhiri dengan sectio cesarea.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar